Understanding

14:53


"There are certain emotions in your body that not even your best friend can sympathize with, but you will find the right film or the right book, and it will understand you" - Bjork



        Saya baru saja membaca kutipan dari Bjork diatas tanpa sengaja di sebuah media sosial, dan langsung terlintas "ooooh...pantesan!"  kemudian muncullah dua judul film kesayangan saya di kepala. The Woodsman And The Rain (Kitsutsuki to Ame) dan The Perks of Being A Wallflower. Dua film beda benua tersebut bukanlah film drama yang menguras air mata. Bukan juga action yang 'adventurous' dan membuat penasaran. Bahkan banyak yang bilang The Woodmsan and The Rain adalah film yang membosankan dan bikin ngantuk. Tapi dua film ini berhasil membuat saya menangis tersedu sedan.








         The Woodsman and The Rain adalah tipikal genre "slice of life" film Jepang, yang begitu tenang, sunyi dan lambat. Pertama kali saya menonton film ini lantaran ada Ogri Shun si ganteng hahahaa. Serius, tanpa saya cari tahu plot ceritanya sayapun menonton. Film ini bercerita tentang Koichi, seorang sutradara film pemula yang sedang melakukan shooting di Yamamura, di daerah hutan dan sungai. Selama menonton, ada beberapa adegan yang membuat saya menangis, sampai puncaknya ketika film selesai saya menangis tersedu sedan. Selesai menonton film pertama kali saya langsung merasa sedih sekaligus senang karena memang film ini bukan film sedih, dan saya sendiri merasa bertanya - tanya kenapa saya menangis. Saya merekomendasikan film ini ke beberapa teman saya, namun tidak ada satupun dari mereka yang merasakan apa yang saya rasakan, bahkan cenderung tidak terkesan. Mereka sampai bingung  apa yang membuat saya begitu memuja film ini.
          Awalnya saya juga bingung, tapi setelah beberapa kali menonton, saya menyadari penyebab cinta saya pada film ini dikarenakan saya sangat mengerti apa yang tokoh itu rasakan. Koichi adalah seorang yang pemalu, tidak percaya diri, kikuk dan canggung, namun sebenarnya akan membuka diri jika didekati dengan benar. Dengan kepribadiannya yang seperti itu dia menjadi sutradara yang kurang wibawa. Bahkan untuk teriak "Action!" saja suara dia pelan sekali. Belum lagi dengan naskah buatannya, ia sangat tidak percaya diri. Kepribadiannya yang aneh itulah yang membuat saya merasa terhubung dengannya. Saya pernah merasakan apa yang dia rasakan dalam kesehariannya, dalma bagaimana dia berinteraksi dengan orang - orang, bagaimana dia mengekspresikan dirinya sendiri. Bisa dikatakan kalau tokoh Koichi itu saya banget. Banget bangetan. Hanya saja tokoh Koichi disini laki - laki. Tapi tetap saja itu membuat saya sangat terkejut, bahwa di belahan dunia lain ada orang yang seperti saya, sekalipun hanya tokoh fiktif. well, I mean minimal si sutradara dan penulis skenario film ini jika bertemu dengan saya akan paham bagaimana diri saya. Makanya saya bisa nangis bahkan di adegan yang nggak ada sedih sedihnya sama sekali, karena saya merasa empati terhadap tokoh Koichi dan saya merasa sangat paham apa yang dia rasakan saat itu.











               Bisa dikatakan semenjak masuk sekolah menengah atas saya cukup sukses menjadi wallflower. Wallflower adalah sebuah kiasan untuk orang yang pemalu, tertutup, dan jika ada suatu pesta dia hanya akan berada di pinggir mengamati tanpa berpartisipasi. Bisa juga dibilang "hiasan dinding", hanya diam dan mengamati tanpa berpartisipasi. Dan sudah 5 tahun saya menjadi wallflower profesional hahahaha.
                Film ini menceritakan tentang Charlie, seorang introvert yang baru memasuki masa SMA nya dan berusaha memulai hidup yang lebih baik. Yang mana akhirnya dia mendapatkan teman - teman yang lebih tua dan membimbing Charlie selama tahun pertamanya di sekolah.
               Dibanding tokoh Koichi yang menggambarkan diri saya secara umum, bisa dikatakan tokoh Charlie disini menggambarkan diri saya secara khusus. Charlie  adalah cerminan sisi depresif saya. Sifat dan perilaku saya tidak sepenuhnya mirip Charlie, yang mana memang ia menderita semacam penyakit mental. Namun kehidupan yang ia lalui mirip sekali, dan kembali lagi selama menonton film ini saya menangis sambil berujar "saya tahu rasanya". Selain karakter yang mirip, di film dan buku ini benar - benar membuat saya merasa Stephen  Chbosky pernah mengintip kehidupan saya diam diam haahaha. Hampir semua yang Charlie lalui disini selama masa SMA nya pernah saya rasakan, dan saya sangat paham betul apa yang Charlie rasakan. Oh, dan bahkan saya memang memiliki dua teman , pria dan wanita, dan kami sering pergi menggunakan mobil dan jalan jalan hanya sekedar mendengarkan musik, dan kedua teman saya adalah orang - orang yang cukup ekspresif dan meriah sehingga mampu membawa saya ke dunia mereka hahahaha. Well jangan jangan memang Stephen Chbosky pernah mengintip hidup saya. Atau Tuhan terinspirasi karya Chbosky ketika hendak menuliskan takdir saya?







Koichi dan Charlie, seandainya mereka memang benar benar ada saya akan rela berusaha bertemu mereka berdua, meskipun pada akhirnya hanya menciptakan hening yang canggung. Tapi saya mengerti bahwa mereka juga  mengerti atas hening hening yang tercipta. Mereka pasti mengerti akan aura canggung tebal yang menyesakkan, atau tatapan tatapan mata yang sama sama menghindar. Dan pada akhirnya kami hanya akan sama sama tersenyum sambil menunduk tanpa bicara apa - apa. Oh sungguh saya benar benar ingin memeluk mereka berdua!

Dua film diatas benar - benar tidak di desain untuk menguras air mata. Namun saya selalu menangis.
Setelah menonton berkali kali dan berfikir, dan ditanyai oleh teman - teman saya "apanya yang sedih sih?" , saya mengerti. Saya menangis hasil empati. Ya, seaneh itulah saya, bahkan berempati terhadap tokoh fiktif. Karena saya mengerti bagaimana sulitnya berusaha dimengerti oleh orang lain, dan saya yakin dua tokoh tersebut juga mengerti.

Dan kenyataan bahwa tidak banyak orang  yang mengapresiasi  film diatas (terutama The Woodsman and The Rain; The Perks sudah populer di dunia duluan melalui novel) memang merupakan bukti bahwa tidak banyak orang yang mengerti apa yang saya rasakan. Itulah mengapa film ini merupakan film yang sangat melekat untuk saya. Dan kutipan Bjork diatas saya akui benar adanya :)














You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images