Tanpa Batas

13:30

Haruskah aku jadi pujangga, dalam balutan majas majas mesra, bergelut dalam lintasan huruf dengan makna? Mereka reka, dan merangkai tangkai tangkai kalimat menjadi padu padan yang dinikmati panca indra?


Pertama kali saya membuat blog ini, saya memutuskan untuk mengisinya se formal mungkin. Mengisinya dengan kata kata rajutan yang saya rangkai per emosi. Namun lama kelamaan, saya kembali berpikir. Kenapa saya harus formal? kenapa harus baku? disaat semua orang berlomba mencari kebebasan. Kenapa? supaya terlihat serius kah? lantas, jika saya serius, apa blog saya akan dilirik, lalu diterbitkan? Alamak, blog saya hanya tumpahan luka putus cinta. Saya hanya butuh tempat menuliskan ekspresi yang lebih luas melebihi 140 karakter dari twitter,dan tidak senorak mempublikasikannya di notes facebook. Dan dari blog saya mampu memilah posting mana yang perlu saya share supaya teman teman saya mudah untuk membacanya. Dan bahkan follower di blog bebas memilih untuk membaca atau tidak posting posting saya. Itu keputusan mereka mau membaca atau tidak,memfollow atau tidak.

Saya membutuhkan tempat yang lebih luas, karena saya lebih sering memendam kata kata yang ingin saya lontarkan. Dan kadang saya ingin orang orang membaca juga apa yang saya pikirkan, tanpa harus bertanya dan saya menjawab secara lisan. Karena saya malas bicara, belum tentu pula orang yang mendengarkan itu mengerti, atau bahkan tertarik dengan apa yang saya bicarakan. Dan dengan saya menyebarkan pikiran saya di blog ini dengan link, orang bisa memilih untuk membukanya atau tidak. jadi orang yang ingin membacanya harus siap menerima kata kata saya yang akan dia baca, tanpa harus menyela dan sejelek apapun tulisan atau pola pikir yang saya buat, itu adalah konsekuensi si pembaca, mengapa ia memilih untuk membuka link blog yang saya sebarkan dan membacanya?

Saya nggak berniat menerbitkan buku dari tulisan tulisan blog saya. Saya bukan komedian, atau penulis lelucon lelucon yang menyegarkan. Saya hanya sesosok manusia kelabu yang butuh penampung emosi. Saya pengecut yang lebih aman memaki dalam tulisan,daripada memaki kenyataan dan mendapatkan masalah. Saya hanya butuh ruang bebas, untuk menumpahkan amarah, dan orang yang mau bebas melihat dan mengerti kalau saya marah tanpa banyak bertanya apa,kenapa,mengapa,bagaimana. Dan tanpa mengusik ketenangan orang dibanding saya berteriak sumpah serapah di timeline, atau di status fb seperti para alay.

Saya mencari kebebasan,dan memberikan kebebasan bagi para pembaca juga untuk tidak memaksa mereka membaca. Dan inilah tulisan saya, yang sarkastik, sadis, dan brutal mungkin. Karena kerak dalam hati saya jauh lebih keruh dan dendam saya lebih tebal dari asap untuk sekedar diungkapkan secara lisan.
Dan ketika emosi, tumpahan kata kata indah malah tak bermakna. Rasa marah jadi dongkol ketika bahkan untuk menulis kemarahan pun saya mesti berpikir. Dan, yah, ini tanpa batas. Dan saya rasa saya tidak ingin dibatas batasi. kenapa saya harus terbatas,ketika banyak orang diluar sana meludahi saya secara online pula. Kenapa saya harus jadi pohon bambu,ketika saya punya pilihan untuk menjadi pohon oak? Kenapa saya harus berusaha menjadi normal, disaat orang disekitar saya menganggap saya orang aneh. Kenapa saya harus mengikuti arus, jika saya bisa diam dan bertahan. Kenapa saya harus menjadi apa yang orang lain inginkan, disaat diri saya memiliki keinginan sendiri?Saya masih muda dan saya masih ingin memberontak. Kita tidak lagi dijajah dengan fisik atau ribut soal pemerintahan. Tapi kini kita dijajah pola pikir dan pandangan orang lain. Digerayangi rasa takut ketika kita berlaku yang tidak diharapkan. Saya sudah bosan mempelajari hal ini di pelajaran sosiologi. Dimana nilai dan norma ada untuk membentuk pribadi yang ideal.
Pribadi yang ideal?Pribadi yang baik baik dan tidak menyimpang. Ah, dunia terlalu mulus dilalui jika semua orang menjadi pribadi yang ideal. Semua orang pernah menyimpang. Semua orang pernah melanggar nilai dan norma, sekecil apapun, primer maupun sekunder sekalipun. Pada akhrinya,sekeras apapun ahli sosiologi menelaah apa itu nilai dan norma, sekeras apapun siswa IPS  belajar dan ujian tentang nilai dan norma, pada akhirnya, tak ada satupun manusia yang memiliki pribadi yang ideal.

Tak ada pribadi yang ideal. Tak ada anak yang baik baik. Semua akan membaik pada saatnya,dan akan memburuk pula pada saatnya. Ketika memaksa untuk ideal, ketika memaksa untuk sempurna, yang ada hanya kepura puraan.


Sekian.


"Aku tidak ingin menjadi pohon bambu. Aku ingin menjadi pohon oak yang menentang angin" - Soe Hok Gie

You Might Also Like

1 comments

  1. setuju! ga ada yg namanya pribadi yang ideal.

    dan aku seneng banget kake udh nulis lagi. aku kangen sama cerita kake.

    asal kake tau aja dulu aku mulai suka nulis cerita (walau gapernah dipublish di internet) karena baca cerita kake :)

    walau gimana, kake udh ngasi inspirasi hehe (halaah)

    oia, aku juga suka sm beberapa kata2 kake di postingan ini :D

    ReplyDelete

Like us on Facebook

Flickr Images