Agustus kelabu, 2004
21:48
Sekarang sudah bulan Agustus ternyata. Dan saya baru sadar. Sebentar lagi hari bersejarah itu, dimana Indonesia bebas merdeka, memproklamirkan diri sebagai bangsa yang bebas!
Ya, dan semenjak saya hidup dan mengerti dunia luar, saya selalu memperingati 17 Agustus dengan upcara di SD, SMP, dan lomba lomba kocak yang cukup asik.
Ya,semua itu asik. Apalagi yang namanya panjat pinang sama tarik tambang. Eeh balap karung juga! hehehe
Saya nggak akan pernah lupa sama tarik tambang dan balap karung, karena waktu SD langganan ikut dua lomba itu wkwkwk.
Dan panjat pinang,seumur umur memang saya nggak pernah main lomba itu,tapi nontonnya aja udah takjub sendiri,hahaha.
Dilain pihak, dilain waktu,dilain takdir....
pada tahun 2004, bulan Agustus, kali itu saya tidak menghadiri upacara 17an si SD saya, nggak ikut lomba apapun, bahkan nggak menjejakkan kaki sama sekali.
Karena di pagi hari sehari sebelum tanggal 17 Agustus, tepatnya 16 Agustus, saya benar benar hilang akal. Saya tersesat dalam takdir saya sendiri. Saya yang masih bocah piyik masih belom bisa menerawang,membaca tanda arah pada persimpangan persimpangan takdir saya yang tiba tiba menjadi gelap,pekat,dan sesak.
Saat itu saya belum tahu...tahu sih. Saya ngerti. Dia pergi. Tugasnya di dunia ini sudah selesai. Saat itu saya ngerti, bahwa dia sudah nggak bisa bernafas lagi,nggak bisa main main sama saya lagi. Saya nggak bisa guling gulingan sama dia lagi,nggak bisa cabutin bulu kakinya lagi atau berdebat hal hal enggak penting sama dia.
Saya ngerti dan cukup diam waktu speaker dari masjid terdekat di rumah saya bersuara lantang "Innalillahi wa innailaihi rojiuun...Telah berpulang ke Rahmatullah, NUR MUHAMMAD bin Sofyan Sulaiman...." Jantung saya jadi seperti ikut ikutan berhenti. Saya lari ke kamar sepupu saya yang konon kedap suara. Tapi speaker masjid itu berbunyi sekitar 2 kali dan tetap terdengar. Saya tahu, dan sadar betul,bahwa dia takkan kembali lagi kesini,ke ambang pintu, menunggu saya membukakan kuncinya. Siulan siulan yang nggak jelas kalau manggil saya, dan omelan omelan juteknya.
Cuma itu,saat itu, yang saya tahu.
Tapi saat itu ya saat itu. Saya belum tahu,saya belum mengerti bahwa...ada banyak hal lain yang entah mengapa saya sesalkan semenjak ia menarik napas terakhirnya.
Jahat,dosa,memang,jika saya menggerutu karena waktu hidupnya sudah habis. Sama saja saya protes sama Tuhan,kan?
Tapi ya memang kan, seandainya dia tidak meninggal...seandainya dia tidak sakit..seandainya...seandainya....
HUSH,saya nggak boleh berfikir seperti itu.
Tapi kadang saya rindu. Kadang juga saya masa bodoh.
Dan sampai detik ini saya benar benar nggak bisa membayangkan, positif negatif apa dari keberadaan dan ketiadaannya di hidup saya?
Astaghfirullah... Tapi bukan maksudnya saya membandingkan takdir dia lho!
Back to the title, karena dia pergi di tanggal 16 Agustus, 17 Agustusnya otomatis saya dirumah, beres beres,menata segala duka yang tercecer, dan serpihan serpihan rindu yang melayang layang di plafon rumah saya. 17 Agustus 2004, saya absent sebagai warga negara yang baik untuk mengikuti upacara. Saya hanya diam di rumah,menata rencana hidup yang sudah dikhayalkan dengan indah yang tiba tiba bengkok karena salah satu pemeran dari naskah hidup yang tersusun pergi mendadak.
Saya nggak bisa bilang kalau saya rindu,tapi saya juga nggak bisa bilang kalau saya tenang tenang saja.
Saya khawatir. Apakah dia baik baik saja disana? apa dia melihat segala dosa dan kelakuan anaknya yang sudah semrawut ini?!
Ayah memang nggak pernah memberikan nasihat kehidupan secara gamblang,seperti ibu yang cerewet namun petuahnya selalu ada dihati. Kalau ayah lagi nasihatin saya, saya jadi pengen ketawa dan menganggapnya angin lalu, karena ayah begitu lucu, dan tidak pantas berwajah serius dengan petuah petuah bijak. Karena ayah tau? Ayah itu bandel, saya saja tahu,ayah itu bandel,hehehe. Jadi saya kurang percaya sama nasihat nasihat ayah. Tapi ayah mempraktekkannya langsung. Iya, ayah cuma satu dua kali nasihatin,sisa nya saya pelajari sendiri,dari takdir ayah,yang begitu berkelok kelok.
Saya bangga sama ayah. Saya bangga ayah nggak pernah sok pinter di hadapan saya. Dan saya tahu itu, dari nilai nilai raport ayah,hehehe. Ayah nggak jauh beda sama saya. Dan saya senang, ayah nggak sok pinter, tapi ayah juga nggak ngasih tau bagaimana nilai ayah,sampai saya menemukan raport tua itu di lemari ayah :D
Ayah semuanya buat saya. Ayah benar benar bikin hidup saya naik turun.
:'( saya punya banyak salah sama ayah. Saya nyesel yah,saya nggak banyak main main sama ayah. Nggak banyak curhat sama ayah. Yang banyak malah rebutan teritorial buat nonton tivi. Maafin saya yah. Saya sudah semrawut. maafin saya yah, saya cuma bisa segini. Saya cuma bisa seperti ini.
Saya sayang sama ayah. Ayah nggak pernah menuntut saya untuk jadi sebaik dia. Ayah nggak pernah menuntut saya untuk menjadi pintar. Ayah nggak pernah bermimpi dan memimpikan saya untuk jadi orang hebat;"jadi orang baik,itu sudah cukup"
Terimakasih ayah nggak pernah memaksa saya untuk jadi orang yang sempurna. Makasih ayah sudah ngajarin saya bangun pagi dengan "kepret"annya yang sadis tapi berguna.
Terimakasih ayah sudah jadi ayah yang baik selama ayah hidup. Ayah nggak gagal kok jadi orangtua, saya yang gagal menjadi anak :''''( saya gagal...tapi saya janji yah,saya akan jadi lebih baik,saya akan berusaha jadi orang yang lebih baik. Supaya ayah nggak malu kalau disana lagi ngobrol sama tetangga tentang anak.
Oya, satu lagi ayah, saya ... wanita tulen kok. Ayah nggak perlu khawatir, saya jamin, saya nggak akan berubah menjadi pria,seperti yang ayah takutkan selama ini.
1 comments
selalu ada jalan bagi siapa saja yang mau berusaha, jadilah yang terbaik sayang :)
ReplyDelete