Tugas cerpen,

20:29

Cerpen selesai dalam sekejab,dan gue lupa ngasih judul zzz


Mataku berair, bibirku gemetar dan lidahku kelu. Seperti biasa, ujung jariku terlalu ngilu untuk kugerakkan dalam keadaan emosi yang seperti ini. Lalu air air itu meleleh satu satu dari ujung mataku. Tidak, airmataku tidak membasahi pipi,melainkan langsung menetes jatuh ke lantai atau kemanalah, karena aku menunduk. Aku tak sanggup menengadah untuk melihat dunia.
Yah, terlalu hiperbola, aku hanya tak sanggup memandang keluar jendela kamarku, melihat betapa indahnya warna senja itu. Oranye, perpaduan merah dan kuning… Ah! Tuhan pandai sekali melukis ternyata… Tuhan, ya? Maaf, maaf, aku bukan penganut atheis kok, aku hanya anak remaja normal yang menganut agama keturunan(ya,kalian tahu kan, agama yang dimiliki oleh kedua orangtua kalian dan mereka mengajarkannya padamu tanpa bisa kamu pilih atau pertimbangkan). Yah,entah Tuhan itu ada atau tidak, adil atau tidak, yang jelas Tuhan sudah memberiku kesempatan hidup. Oke,oke, stop tangis menangisnya.
Aku beranjak dari jendela menuju cermin di dinding kamarku… Hem,mungkin rumah lebih tepatnya. Kuhapus sisa sisa air mataku begitu menatap cermin. Memalukan sekali jika aku mengingat bahwa diriku adalah kaum adam yang beberapa menit yang lalu menangis tersedu sedan. Tenang,tenang, saya lelaki remaja normal, bukan banci. Sekali lagi, aku menghapus air mata dari wajahku dan menarik nafas panjang sekali. Aku lelaki, aku kuat, aku takkan serapuh cermin ini, dan aku akan menjadi lebih kuat!
Tiba tiba lantai kayu ini bergetar, berderit derit miris,menandakan adanya manusia yang sedang berjalan di lorong depan kamarku. BRAK! Pintu kamar dibuka tanpa permisi, membuat suara kegaduhan yang cukup mengganggu tetangga.
“Kak, makan.” Panggil Ayu, adik kecilku.
“Nanti saja, aku belum lapar.” Tolakku mentah mentah.
“Huuh! Ya sudah.” Ia pun menggerutu dan menutup pintu.
Lalu ia beranjak pergi, dan lagi lagi langkah kecilnya saja membuat bangunan kumuh ini berderit derit membuatku ingin menangis lagi.
Kurus,kecil,dan kulitnya hitam legam. Namun semua itu tidak menutupi manisnya senyum yang senantiasa dikulumnya setiap hari untukku, Ibu,dan Ayah. Oh iya, ayah. Aku masih punya ayah,kan? Tiba tiba semuanya terasa begitu menyesakkan, dan sepi menghampiriku dengan segera.
Aku duduk di sudut sambil memeluk lutut. Rasanya dingin dan sepi. Ah,mungkin…Mungkin aku sudah sedikit gila ya. Atau benar benar sudah gila? Tidak! Aku hanya merindukan ayah. Sedikit meirndukan ayah.
Tahun lalu dia mati. Ya, mati, wafat. Kau tahu? Disaat dia meninggal, disitulah aku tahu, bahwa… Pemulung tak pernah lepas dari sampah. Kau tahu ayahku wafat kenapa? Tertimbun sampah! Menjijikkan! Dia hidup diantara sampah, makan pun bersama sampah, dan…Teganya Tuhan membuatnya mati bahkan kembali pada sampah. Iya, dia tertimbun saat sedang menyetor sampah.Karena sampah sudah terlalu menggunung…BUM! Runtuhlah tibunan sampah itu,dan menimbun ayahku. Aku sering tertawa geli jika memikirkan kata kata “manusia meninggal, kembali ke tanah, dari tanah kembali ke tanah”. Dan ayahku? “Dari sampah kembali ke sampah” kah?
Ayahku adalah manusia terkuat sepanjang masa. Dia mampu menyekolahkan aku dari jenjang SD sampai SMA, meskipun tidak tamat secara sempurna. Ayahku kuat, kerja siang malam hanya demi mendapatkan selembar duapuluh ribuan. Ayahku kuat, mendengar keluh kesah ibu sepanjang hari Minggu tentang harga sembako yang tidak karuan. Ayahku kuat, sehingga mampu memahat seulas senyum di bibir ibu yang senantiasa kaku dihadapanku. Ayahku kuat, minimal Ayu tidak busung lapar seperti tetangga tetangga kami. Ayah kuat…,Sangat kuat. Tapi kenapa kekuatannya harus berakhir di timbunan sampah? Adilkan Tuhan itu? Adil kok. Adil…..

Malam ini, aku berniat pergi memulung. Sudah terlalu lama aku bersedih seperti ini. Kasihan ibu juga jadinya.
Karena trauma, sesampainya di TPA aku berusaha menjauh sejauh mungkin dari tumpukan sampah yang sudah melebihi batas. Aku hanya menyetor sampah di tempat tempat aman saja.
“Mar… Damar…”
Apa itu!?
“Mar…Damar”
Namaku disebut sebut. Tetapi setelah tengok kiri tengok kanan, tak ada satupun rekan rekan sesama pemulung yang buka suara. Aku hanya bisa terdiam. Suara siapa?
“Mar…Damar!”
Suara itu makin keras….Keras! Hingga seluruh sampah sampah di belakangku yang tanpa kusadari adalah tumpukan tumpukan sampah yang begitu tinggi, longsor. Aku terseret ke dalam sampah sampah itu. Nafasku sesak, aku tak bisa berteriak.

JUDULNYA APA YAAAAA

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook

Flickr Images